CIAMIS
 — Pepatah bilang, seorang pecinta akan melakukan segala hal saat jatuh 
cinta. Lautan diseberangi, gunung didaki, demi menemui sang kekasih. 
Perumpamaan yang sama mungkin bisa diterapkan pada Yana Turangga (24). 
Segala keterbatasan yang ada pada dirinya tidak menyurutkan langkah Yana
 untuk menemui Kang Aher dan istri, Netty Heryawan, di Hotel Tyara 
Plasa, Jalan Jenderal Sudirman (12/2).
Saat
 memutuskan menemui Kang Aher dan istri, setidaknya ada dua keterbatasan
 yang Yana miliki. Pertama, keterbatasan jarak. Untuk menemui Kang Aher,
 Yana harus menempuh jarak sekitar 71 kilometer, melewati jalan yang 
konturnya seperti sungai kekeringan. Kedua, Yana adalah seorang difabel.
 Ada keterbatasan fisik pada matanya, sehingga Yana tidak bisa melihat 
dengan normal. Namun hebatnya, Yana menerjang segala keterbatasan itu, 
dan berani menempuh perjalanan tengah malam selama empat jam, 
hujan-hujanan, hanya dengan mengendarai motor. Yana memang selalu 
'mengejar' Kang Aher atau Netty Heryawan, jika dia merasa sanggup 
menempuh jaraknya. Bahkan, beberapa waktu lalu Yana 'mengejar' Netty 
saat kampanye di Cikijing, Majalengka.
Nekatkah Yana? Mungkin hanya orang yang sedang jatuh cinta yang bisa memahami aksinya ini.
“Saya
 sangat mencintai Kang Aher dan Teh Netty, karena jujur saja, saya lihat
 figur Kang Aher lebih dari pemimpin lain yang saya kenal, yang kalau 
sudah punya jabatan rata-rata lupa (pada masyarakat—red). Apalagi dengan
 kami yang dari SLB,” tutur sulung dari tiga bersaudara ini.
Satu
 hal yang paling Yana kagumi dari Kang Aher adalah kepedulian Kang Aher 
pada kaum difabel sangat besar, terutama dalam hal pendidikan. Aher 
pernah memberi bantuan langsung kepada sekolahnya, saat menghadiri Hari 
Penyandang Cacat (Hapenca) Indonesia, di Yayasan Wyata Guna, Bandung. 
Menurut Yana, Kang Aher tidak pandang bulu dalam memajukan pendidikan.
“Ibarat
 arit mah, sadaya diarit. Rek nu SLB, rek nu kumaha, diarit sadaya. Jadi
 kalau kepemimpinan Kang Aher mah A sampai Z digarap. Nah, misalnya kan 
aku di Z, pemimpin yang dulu mah hanya menggarap A sampai F aja, jadi 
kami (kaum difabel—red) gak ketauan,” papar siswa kelas 1 SMU SLB C 
Sindangsari, Cikoneng, ini.
Yana
 memang terlihat cerdas. Tutur katanya terstruktur dan sistematis. 
Sebabnya tentu saja karena Yana berpendidikan, meski fisiknya tidak 
seperti orang kebanyakan.
“Dulu
 sebelum masuk SLB, saya selalu dicemooh dan dipandang sebelah mata. 
Tapi setelah masuk (sekolah), nggak begitu lagi,” kisah Yana.
Ayah
 Yana hanya seorang kuli bangunan, sedangkan ibunya tenaga kerja wanita 
(TKW) di luar negeri. Lahir dari keluarga kurang mampu, membuat Yana 
kesulitan mengembangkan potensi dirinya. Apalagi dengan keterbatasan 
fisik, yang membuat masyarakat cenderung melabelkan ‘cacat’ atau ‘tidak 
normal’ kepadanya. Padahal, sosok-sosok seperti Yana, pasti memiliki 
kelebihan lain sebagai ‘kompensasi’ keterbatasan fisik mereka. Contohnya
 Yana, yang kecerdasan berpikirnya tidak kalah dengan jebolan sekolah 
umum. Selain itu, Yana pun mahir memainkan alat musik kendang, padahal 
hanya belajar otodidak.
Oleh
 karena itu, Yana sangat berterima kasih kepada Kang Aher dan istri, 
yang begitu peduli memajukan pendidikan di Jawa Barat, tanpa terkecuali.
 Kesempatan bersekolah ini ibarat tiket emas Yana untuk memeroleh 
kehidupan yang lebih baik, demi kedua adik kembar dan keluarganya.
“Untuk
 itu, saya ingin bertemu Kang Aher. Saya hanya ingin mendoakan beliau, 
agar bisa memimpin Jawa Barat kembali, dan didoakan beliau, agar 
perjuangan hidup saya tidak sia-sia” pungkas Yana dengan menahan tangis.
 (*)
 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar